Penjudi Terkaya Di Indonesia
Pulau Krismas, 300 km di selatan Pulau Jawa tetapi masuk wilayah Australia, diproklamasikan sebagai pulau para penjudi. Robby Sumampow, pengusaha Indonesia yang dikenal sebagai salah seorang bos SDSB, mendirikan kasino di sana, yang diresmikan 8 Agustus nanti. Dia berharap, penjudi di kawasan Asia dan Australia -- termasuk penjudi Indonesia -- datang ke pulau yang udaranya seperti Jakarta itu. Namun, banyak penduduk setempat yang khawatir ketenangannya akan terancam, sebagaimana direkam wartawan TEMPO yang mengunjungi pulau terpencil itu. PENJUDI tulen tak pernah mengenal tempat. Maksud ungkapan ini, jika seseorang betul-betul darah dan dagingnya penjudi, dan hasrat berjudinya sedang meninggi, tempat tidak lagi menjadi persoalan. Ia bisa bergerak dari satu kasino ke kasino lain, entah itu di Makau, Genting Highland Malaysia, ataupun di Perth. Kalah di satu kasino, mereka akan mengadu nasib di kasino lain sampai koceknya licin tandas. Jarak bukan persoalan. ''Saya yakin penjudi suka pindah-pindah tempat karena berjudi itu soal mati-hidup mereka,'' kata Robby Sumampow, salah seorang pengusaha yang memanfaatkan penjudi- penjudi itu sebagai ladang bisnisnya. Keyakinan itulah yang membuat Robby, yang di sini dikenal sebagai salah satu bos Sumbangan Dermawan Sosial Berhadiah (SDSB), siap mengembangkan usahanya ke bisnis hotel dan kasino, nun di Lautan Hindia. Ia, bersama dua rekannya, membuka kasino baru di Pulau Krismas, sekitar 300 km dari Pulau Jawa -- tapi pulau kecil ini masuk wilayah Australia. Di bawah bendera Christmas Island Resort, hotel dan kasino itu akan resmi dibuka hari Minggu, 8 Agustus ini. Untuk mengoperasikannya, Christmas Island Resort sudah menandatangani kontrak dengan Casino Austria International sebagai pengelola. Robby berharap, dengan adanya kasino di Pulau Krismas itu, para penjudi di kawasan Asia Tenggara akan punya tempat baru selain di Makau, Filipina, Malaysia, dan Australia. Target Robby adalah penjudi dari Australia dan Malaysia. Tapi ia pun tak menampik kalau-kalau -- siapa tahu -- ada juga penjudi dari Indonesia yang tertarik ke Pulau Krismas. Maklum, pemerintah Indonesia sudah melarang segala bentuk judi, termasuk kasino, sejak 1981. Robby juga berharap penjudi di Hong Kong mengalir ke Pulau Krismas jika Hong Kong kembali ke tangan Cina, tahun 1997. ''Pemikiran seperti itu juga yang antara lain mendorong saya memutuskan untuk menerima tawaran kerja sama membuka kasino di sana,'' kata Robby kepada Sri Wahyuni dari TEMPO. Untuk menyelesaikan proyek hotel dan kasino itu, Robby menyertakan modal 63% dari dana sebesar 52 juta dolar Australia atau sekitar Rp 73,4 miliar yang dibutuhkan. Sisanya ditutup oleh Atang Latief dan seorang pengusaha Australia, Frank Woodmore. Sebenarnya, pembukaan kasino di Pulau Krismas pekan ini baru berupa soft opening karena izin untuk prosedur permainan dari Casinos Surveillance Authorities masih dalam proses. Artinya, untuk sementara, para penjudi masih bermain dengan uang tiruan. Tapi, kenapa buru-buru dibuka? Dibuka tanggal 8 bulan 8 (Agustus), kata Robby, karena adanya kepercayaan Cina bahwa angka 8 merupakan tanda keberuntungan. Kasino ini juga punya nomor telepon 8888 dan kotak pos 888. Proyek Christmas Island Resort sendiri sudah dimulai tiga tahun lalu, tapi Robby baru terlibat dua tahun terakhir ini. ''Pak Atang merasa sudah terlalu tua untuk menangani usaha itu, sehingga saya diajak ikut,'' tutur Robby. Maka, ia segera menerima tawaran itu karena naluri bisnis semata. Soalnya, menurut Robby, bisnis kasino tak bisa didukung studi kelayakan. Sulit sekali menduga berapa banyak penjudi yang mau datang ke suatu kasino dan berapa pula isi kantong mereka. Kenyataannya, setelah beroperasi, semua kasino terbukti layak. Memang, diharapkan, tak hanya kasino yang menjadi daya tarik Pulau Krismas. Pulau seluas 135 meter persegi ini kaya dengan fauna, khususnya burung. Menurut Roger Hart dari Badan Hutan Lindung dan Fauna Australia, terdapat sekitar 74 jenis burung di Pulau Krismas dan 20 jenis di antaranya hanya bisa ditemukan di Pulau Krismas. Untuk mengamankan burung itu, banyak bekas daerah pertambangan fosfat yang dihijaukan kembali. Kini kehijauan Pulau Krismas menjadi daya tarik tambahan untuk wisata. Untuk melestarikan flora dan fauna di Pulau Krismas, perusahaan tambang di Pulau Krismas menjalin kerja sama dengan Badan Hutan Lindung. Perusahaan tambang harus menyediakan sebesar 40% dari keuntungan untuk program rehabilitasi hutan. Tahun 1993 ini, Badan Hutan Lindung sudah memperoleh 400.000 dolar Australia dari usaha tambang, dan kini sedang diusahakan agar pajak usaha tambang yang dibayar ke pemerintah administratif Pulau Krismas diserahkan juga ke Badan Hutan Lindung. Bahwa selama ini Pulau Krismas tak banyak dikenal, itu karena pulau yang disebut juga Pulau Kepiting -- karena banyaknya kepiting -- ini semata-mata dieksploitasi sebagai lokasi pertambangan fosfat. Ketika pertambangan fosfat menurun, pemerintah Australia seperti mengabaikan pulau itu. Sementara itu, potensi wisata tak digarap orang Australia karena tak banyak pantai yang landai di Pulau Krismas. Hampir semua tepi pulau adalah tebing curam. Tepian yang curam itu jugalah yang membuat Pulau Krismas sempat terbengkalai ratusan tahun setelah ditemukan oleh Kapten William Mynors tahun 1643. Mynors menemukan pulau itu persis di hari Natal, maka pulau itu disebut Pulau Krismas. Waktu itu, Mynors berlayar di sebelah selatan pulau tersebut dan, dari teropongnya, yang terlihat hanyalah tebing-tebing curam sehingga ia tidak tertarik untuk singgah. Ia hanya memberi nama. Baru tahun 1688 Kapten William Dampier sempat mendarat di pulau itu setelah menemukan pantai yang cukup landai. Namun, Dampier tak tertarik juga untuk tinggal di Pulau Krismas. Baru dua abad kemudian Pulau Krismas menarik perhatian pemerintah Inggris. Itu karena seorang ilmuwan Skotlandia, Dr. John Murray, pada pertengahan 1870-an menemukan karang yang ia perkirakan mengandung fosfat taraf tinggi. Murray waktu itu sedang bertugas dalam Ekspedisi Tantangan Inggris yang mencari kandungan fosfat di Pulau Jawa. Ia rupanya menemukan karang yang mengandung fosfat, dan contoh karang dari Pulau Krismas itu ia bawa ke Inggris. Contoh karang itu berhasil membuat pemerintah Kerajaan Inggris tertarik untuk mengeksplorasi kandungan fosfat di Pulau Krismas. Maka, Kerajaan Inggris segera memasukkan Pulau Krismas ke dalam wilayah kerajaannya, yang disahkan pada tahun 1888. Lantas, tahun 1890, Dr. John Murray dan George Clunies-Ross mendapat izin untuk menambang fosfat dan membuka hutan di Pulau Krismas selama 99 tahun. Tahun 1897, British Phosphate Commission (BPC) ikut meramaikan operasi pertambangan fosfat dengan mendatangkan buruh dari Malaysia. Setelah itu, berdatangan juga buruh dari Singapura dan Cina. Sejak awal abad ke-20, penguasaan terhadap pulau ini berganti-ganti. Sampai tahun 1945, pulau itu masuk daerah Kekuasaan Kawasan Selat (Straits Settlements), tapi sempat diduduki Jepang pada masa Perang Dunia II, tahun 1942 hingga 1945. Seusai Perang Dunia, Pulau Krismas menjadi bagian Singapura, sampai akhir tahun 1957, dan dipisahkan sebagai daerah jajahan tersendiri sampai Oktober 1958, sebelum diserahkan kepada pemerintah Australia. Tahun 1947, pemerintah Australia dan Selandia Baru, di bawah bendera Phosphate Mining Corporation of Christmas Island (PMCCI), pernah membeli usaha pertambangan di Pulau Krismas dari British Phosphate Commission. Namun, usaha pertambangan di bawah pengelolaan PMCCI itu terpaksa tutup pada tahun 1987, antara lain, karena tekanan yang makin besar dari buruhnya. Sumbernya adalah ketidakpuasan para buruh terhadap kondisi kerja mereka. Upah mereka jauh di bawah standar gaji buruh di daratan Australia. Adalah Michael Grimes, yang datang ke Pulau Krismas pada tahun 1975 sebagai guru sekolah, yang berperan dalam pergerakan buruh. Ia mendirikan serikat buruh The Union of Christmas Island Workers untuk memperjuangkan perbaikan kondisi kerja buruh -- ia menjadi sekretaris umum selama tiga tahun. Grimes mundur dari kepemimpinan serikat buruh dan digantikan oleh Gordon Bennet, yang jauh lebih militan dalam menuntut hak- hak buruh. Di bawah pimpinan Bennet, buruh tambang mulai melakukan aksi mogok, sampai akhirnya pada tahun 1983 kondisi kerja dan upah buruh tambang di Pulau Krismas disesuaikan dengan buruh di daratan Australia. Ironisnya, perbaikan kondisi dan upah kerja itu membuat usaha pertambangan tidak bisa memupuk laba besar lagi. ''Biaya operasi jadi tidak seimbang dengan keuntungan dari fosfat yang masih tinggal,'' kata seorang bekas pekerja tambang kulit putih. Tahun demi tahun berjalan tanpa keuntungan besar lagi, dan beberapa buruh malah dipecat, sehingga akhirnya pemerintah Australia dan Selandia Baru memutuskan untuk menutup usaha pertambangan pada tahun 1987. Pengangguran pun segera meledak di Pulau Krismas. Banyak penduduk yang meninggalkan Pulau Krismas untuk mencari lapangan kerja baru di daratan Australia, ke Perth, Katanning, Geraldton, dan ke kota lainnya yang terletak di pantai seberang Pulau Krismas. Penduduk Pulau Krismas anjlok, dari kira-kira 3.000 jiwa menjadi hanya 1.300 jiwa. Sebagian penduduk yang memutuskan tinggal di Pulau Krismas bekerja sebagai pegawai kantor pemerintah Island Administration dan kantor kota praja. Ternyata, lapangan kerja tak mampu menyerap semua penduduk yang tetap tinggal di Pulau Krismas. Tingginya tingkat pengangguran membuat perekonomian di pulau itu tak bisa berkembang. Sementara itu, banyak bekas buruh dan pekerja tambang lain yang ingin menetap di Pulau Krismas. Akhirnya, para pemimpin masyarakat memutuskan untuk meneruskan usaha pertambangan. Lalu didirikanlah perusahaan tambang Phosphate Resources, yang modalnya berasal dari 240 penduduk Pulau Krismas yang masih punya tabungan. Pada September 1990, kegiatan penambangan dimulai lagi walau terbatas pada fosfat kadar B dan kadar C saja. Untuk menjamin kelangsungan bisnis, Phosphate Resources sengaja memanggil David